Ini merupakan refleksi mendalam dan kritis terhadap realitas keberagamaan di tingkat akar rumput, khususnya di desa-desa Muslim yang secara lahir tampak religius, tapi secara sosial justru mengalami kehampaan nilai dan krisis moral.
Desa Penuh Rumah Ibadah, Tapi Kosong dari Esensi Agama
Kita patut bersyukur jika di sebuah desa banyak berdiri musholla, masjid, pesantren, majelis taklim, dan organisasi dakwah. Tapi mari kita jujur: apakah semua itu sungguh mencerminkan kehidupan Islami yang sejati?
Apakah keberadaan semua simbol dan fasilitas keagamaan itu betul-betul berdampak pada akhlak masyarakat? Pada kesejahteraan kaum lemah? Pada kecintaan terhadap ilmu dan persatuan umat?
Jika jawabannya tidak, maka kita harus merenung dalam-dalam: jangan-jangan desa kita hanya terlihat Islami secara simbolik, tapi kehilangan ruh dan substansi agamanya.
Esensi Agama Harus Terlihat di Kehidupan Nyata
Barometer bahwa agama benar-benar dijalankan dengan baik di sebuah desa bukan hanya dilihat dari jumlah musholla atau ramainya pengajian, tapi dari:
- Apakah kaum miskin dan anak yatim terlindungi dan diperhatikan?
- Apakah masyarakat hidup dalam suasana ilmu, saling membantu, dan saling menyayangi?
- Apakah anak-anak terdidik dengan baik secara formal dan informal?
- Apakah akhlak pemudanya terjaga, jauh dari miras, narkoba, judi, dan kekerasan?
- Apakah para tokoh agama dan tokoh masyarakat bersatu dan mengutamakan kepentingan umat, bukan ego pribadi?
Jika semua jawaban itu adalah ya, maka itulah desa yang hidup dalam ruh dan cahaya Islam yang sejati.
Simbol Banyak, Tapi Esensi Kosong?
Namun, kenyataan sering berkata lain. Di banyak desa:
- Masjid megah berdiri, tapi kaum miskin tak pernah dibantu.
- Musholla ramai tadarus, tapi anak yatim tak disekolahkan.
- Pengajian ramai, tapi ilmu tidak mengubah perilaku.
- Organisasi dakwah tumbuh, tapi tidak bersatu dan saling berebut pengaruh.
- Pesantren ada, tapi akhlak pemuda justru rusak oleh musik liar, miras, dan judi.
Inilah tanda bahwa agama hanya dijalankan sebagai ritual, bukan sebagai jalan hidup. Agama hanya hidup dalam simbol dan suara, tapi mati dalam amal nyata.
Nabi dan Para Sahabat: Menyatukan Ritual dan Realitas
Dalam sejarah Islam, Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak hanya membangun masjid—mereka membangun peradaban. Setiap ibadah berdampak pada solidaritas sosial:
- Sholat membentuk kedisiplinan dan persatuan.
- Zakat dan sedekah menjaga keseimbangan ekonomi umat.
- Ilmu diajarkan secara sistemik untuk memberantas kebodohan.
- Akhlak menjadi standar utama, bukan hanya hafalan atau seragam.
Agama tidak berhenti di mihrab. Agama hidup di pasar, di ladang, di rumah, dan di jalanan. Agama harus hadir dalam senyum anak yatim, amanah pedagang, dan perdamaian di antara tokoh masyarakat.
Ketika Esensi Agama Hilang, Maka Kerusakan Datang
Jika simbol-simbol keagamaan hanya berdiri tanpa ruh:
- Yang terjadi bukan persatuan, tapi perpecahan antar tokoh agama.
- Bukan kesejahteraan, tapi pengabaian terhadap kaum lemah.
- Bukan pendidikan, tapi kebodohan massal yang dibungkus dengan seragam religius.
- Bukan moral, tapi kerusakan generasi muda yang ditinggal oleh para pemimpinnya.
“Sesungguhnya yang paling berat ditanggung di hari kiamat adalah orang-orang yang alim, tapi tidak mengamalkan ilmunya.”
(HR. Al-Baihaqi)
Penutup: Jangan Bangga dengan Simbol, Jika Ruhnya Telah Mati
“Bukan karena banyak masjid desamu menjadi desa yang Islami, tapi karena banyaknya kasih sayang, persatuan, dan perhatian kepada yang lemah.”
“Bukan karena banyak pengajian desamu menjadi suci, tapi karena banyaknya ilmu yang dihidupkan dan akhlak yang ditanamkan.”
“Jika simbol-simbol agama hadir tapi kaum miskin tetap terabaikan, anak yatim tetap menangis, dan para tokoh sibuk bertikai—maka saksikanlah: agama di desa itu hanya tinggal nama.”
Sudah waktunya kita kembali kepada agama yang membentuk akhlak, menyatukan umat, dan melindungi yang lemah. Karena agama tanpa kasih sayang adalah kemunafikan, dan simbol tanpa amal adalah kehampaan.
By: Andik Irawan